Takbir Kemenangan Pendidikan Islam (Pesantren)
Rabu, 24 Desember 2008
Oleh: Durhan Ariev
INNAMAA buitstu li utammima makaarimal akhlaq. Kalimat inilah yang menjadi pedoman semua kalangan ulama, kiai, guru ngaji dan orang-orang yang bergelut dalam bidang agama. Mereka meyakini, dengan hadits yang disampaikan Rasul tersebut menandakan bahwa akhlaq menjadi target utama dalam pendidikan di serantau jagad ini.
Itu pula yang menjadi gambaran awal kejadian silam. Di mana penduduknya (mungkin: baca sekadar tafsiran) tidak mempunyai akhlaq yang membawa pada kehidupan damai dan nyaman. Tentu saja, pertikaian, pemerkosaan dan pembunuhan serta perampokan menjadi sajian utama dan pertama tempo dulu. Orang-orang lemah dibuat ketakutan, lari tunggang-langgang ketika berhadapan dengan orang yang berkuasa. Begitu pula para wanita disulap tak bernyawa ketika mencoba melawan dan menentang kemauannya. Al-hasil kehidupan tempo dulu begitu tragis, biadab serta tak ber perikemanusiaan.
Ternyata, sejarah masa silam tidak hanya sekadar dijadikan referensi sejarah. Melainkan remaja hari ini mencoba membangkitkan kembali budaya kurang sedap yang sempat dipraktikkan oleh orang-orang sebelum kita. Hal ini bisa dilihat dari serangkaian prilaku remaja yang lebih mengedepankan kemauan kata nafsu dari pada kata hati. Tawuran antarpelajar, praktik seksual di lembaga, pesta narkoba, pencopetan dan aksi porno kawula muda menjadi saksi bisu atas kebejatan akhlaq dan moral remaja. Maka, fenomena semacam di atas, secara sadar menyentuh dinding-dinding pesantren yang kemudian diabadikan dalam komitmen perjuangan pesantren.
Pesantren menganggap, prilaku semacam itu secara tidak langsung menghina Islam karena memang yang mempraktikkan prilaku bejat tersebut adalah orang-orang Islam. Hingga sampai ini, umat Islam seakan menjadi garda depan atas kebobrokan situasi yang menghinggapi negara ini.
Karena itu, pesantren sebagai pendidikan Islam tertua di Indonesia, mencoba meletakkan penanaman pendidikan berbasis sopan santun pada agenda pertama. Ini tak lebih dari rasa simpati pesantren melihat perjalanan alam yang sudah diambang kehancuran.
Pesantren terus berjuang memberikan sentuhan dan stimulus akhlaq lewat program-program yang telah disusun oleh pungguwa pesantren. Konsep Rasulullah yang mengajarkan pentingnya akhlaq dalam keseharian betul-betul dipraktikkan secara nyata dalam pesantren.
Penggemblengan terhadap moral untuk membentuk manusia berakhlaqul karimah yang pada akhirnya mampu bersikap sopan dan berbahasa santun bisa dilihat dari gaya pesantren atau orang-orang pesantrennya. Seorang kiai yang memegang tampuk kekuasaan, akan selalu mempraktikkan sikap ramah dan bersahaja kepada santrinya. Beliau tidak pernah marah -apalagi mengusir, walau pun santri berbuat keonaran. Justru balik memberi nasehat dan konsep jitu yang pernah diwasiatkan Rasulullah.
Pemimpin pesantren (kiai) sadar bahwa dirinya harus berhati-hati dalam melangkah dan berbicara. Karena beliau yakin apa yang dipraktikkannya akan diterjemahkan oleh santri yang melihatnya. Sebab itu, kiai selalu tampil gagah, ramah, dan ceria. Ini dimaksudkan agar santri nantinya bisa meneladani prilaku yang dipraktikkannya.
Selain itu, dalam pendidikan formalnya, pesantren memberikan pendidikan berupa materi aqidah akhlaq. Dalam materi tersebut, diajarkan aneka ragam akhlaq dan tata norma dari segala bidang. Bagaimana akhlaq ketika tidur, ketika bermain, menghadapi guru, berbaur dengan tetangga dan akhlaq kepada orang tua.
Kemudian, teori di luar pendidikan formal, mereka (santri) dicekoki aneka ragam kitab moral yang dikemas dalam bentuk pengajian sorogan. Dari safinatu an-najah, sullam at-taufiq sampai bidayatu al-hidayah. Tak lupa pula, mereka sering dihadapkan kepada kiai untuk sekadar berani menggunakan bahasa-bahasa halus dan sopan. Ini diperuntukkan kepada santrinya yang akhirnya mampu menjadi suri tauladan ketika terjun ke masyarakat.
Namun demikian, usaha hanyalah usaha. Yang memberikan hidayah dan yang memberikan keputusan akan berhasil dan tidaknya santri mempraktikkan akhlaqul karimah hanyalah Allah. Yang jelas, tidak semua santri berhasil mempraktikkannya. Ini bisa dilihat dari santri yang terkadang prilakunya lebih parah dari anak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Namun setidaknya, pesantren telah memberi andil cukup terhadap perkembangan mental dan prilaku anak untuk menjadi manusia kaffah yang mengerti terhadap pola dan tingkah laku sebagaimana diinginkan Alquran dan Hadits.
Santri yang tidak berhasil menyerap akar akhlaq karimah yang tertanam dalam pesantren, biasanya sering tidak patuh terhadap aturan. Mereka lebih mengedepankan ngobrol ketimbang ikut pengajian. Lebih senang jalan-jalan daripada belajar kelompok. Dan yang paling parah mereka telah menganggap lebih penting menghafal musik daripada menghafal Alquran.
Pesantren hari ini (baca: santrinya) seakan tidak mampu mempraktikkan akhlaq yang sempat dicontohkan Rasulullah. Sifat keikhlasan dalam memberikan nasehat terhadap orang lain tidak bisa ditiru oleh dewan asatidz, menisik dan mencuci baju sendiri tak mampu dipraktikkan oleh para pengasuh. Padahal, secara kealiman dan kewibawaan lebih unggul Rasulullah, tetapi mengapa mereka-mereka tidak mampu menyontoh?
Karena itu, pesantren harus lebih meningkatkan program-program demi tercapainya anak berakhlaqul karimah, sopan dalam melangkah dan santun dalam bertutur. Jangan sampai agenda utama pesantren menjadikan santri bermartabat dan bersahaja tidak terselesaikan. Bukti bahwa pesantren lebih unggul dibidang moral, itulah yang penulis maksudkan dengan
Takbir Kemenangan Pesantren.
* Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep dan Staf Pengajar di Pesantren Al-Ghazali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar