Sabtu, 14 Februari 2009

Reformasi pesantren ala gusdur

Radar Madura
[ Rabu, 15 Oktober 2008 ]
Reformasi Pesantren Ala Gus Dur
Oleh Durhan Ariev *

SUNGGUH Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari pondok pesantren. Dia yang dibesarkan dari rahim pesantren tak ubahnya sebagai mukjizat pesantren yang selalu berpikir bagaimana langkah ke depan yang harus dilakukan oleh pesantren. Dengan pemikiran Gus Dur, pesantren mampu membelalakkan mata masyarakat luas yang nota bene menganggap pesantren tidak bisa berbuat-apa-apa.

Karena itu, selain program-program yang pernah ditawarkan Gus Dur, ternyata masih ada tawaran-tawaran pemikiran lain dari seorang Gus Dur terkait langkah masa depan pesantren itu sendiri.

Untuk semakin mendapat kepercayaan masyarakat, pesantren menurut Gus Dur harus berani menerapkan program sekolah-sekolah non agama di pesantren. Walaupun mayoritas pondok pesantren tidak menginginkan pelajaran nonagama. Tetapi, program ini sangatlah mendukung masa depan pesantren. Ketidak sukaan pesantren dengan pelajaran nonagama, dikarenakan adanya kekhawatiran pesantren akan hilangnya ruh pelajaran agama karena telah dicampur adukkan dengan pelajaran umum. Pesantren yang menjadi penggemblengan kader-kader kiai dan ulama berusaha dijauhkan dari pelajaran umum. Kalaupun ada, pelajaran umum hanya sekadar dipelajari setengah-setengah.

Akibat dari alerginya terhadap pelajaran agama, santri menjadi buta dengan wawasan kenegaraan, malu bercelana dan menganggap lucu orang berdasi. Namun tidak sebaliknya, santri akan merasa berdosa manakala tidak bersurban, merasa melakukan dosa besar ketika sepintas membuka aurat. Hal ini tak lepas dari doktrin kuat keagamaan yang ditanam semenjak dini.

Namun, ketika pesantren masih tetap dengan tradisi agamanya (menolak pelajaran umum), maka bisa jadi santri menjadi kaku menghadapi tantangan global dan mereka akan tercengang dengan dahsyatnya peradaban.

Oleh karena itu, Gus Dur mencoba menawarkan percobaan kurikulum dengan memprogramkan sekolah nonagama di pesantren. Ini dimaksudnya untuk meningkatkan mutu santri dalam keilmuan. Dengan menerapkan progran sekolah nonagama, keilmuan santri nantinya menjadi berimbang antara pendidikan agama dan pendidikan nonagama.

Penerapan program ini lebih baik dibandingkan program pesantren yang agamis dengan memperbanyak pendirian madrasah dan cendrung setengah-setengah dalam pelaksanaan kurikulum nonagama.

Pelaksanaan progran sekolah nonagama ini dilaksanakan di lingkungan pesantren. Sementara pelajaran agama, disamping diselipkan pada lembagan nonagama juga jadikan kegiatan nonkurikulur. Yaitu dengan mengembangkan di luar sekolah nonagama tetapi masih dalam lingkup pondok pesantren bukan dijalankan di luar pondok.

Program ini tidak merubah pola lama yang memang menjadi tradisi pesantren, dimana sang kiai tetap menjadi pemeran utama dalam pelaksanaan pesantren tersebut, justru program seperti ini merupakan program tambahan untuk mengimbangi ilmu agama yang dimiliki santri.

Demi semakin mantapnya, pesantren harus pula berani menerapkan program pengembangan masyarakat. Salah satu karakteristik pondok pesantren adalah adanya permintaan masyarakat untuk mendirikan pondok pesantren. Dari ini bisa dipahami, bahwa berdirinya pesantren tidak lepas dari peran serta masyarakat. Bukan hanya itu, dalam pemeliharaan serta memajukan pesantren itu sendiri, pihak pesantren juga membutuhkan masyarakat, sebab dalam pesantren haruslah ada komponen yang diantaranya adalah santri. Sedangkan santri harus didatangkan dari masyarakat sebagai pendukung utama dalam kelangsungan pondok pesantren.

Karena masyarakat telah berperan besar dalam perjalanan pesantren, maka pesatren sendiri harus tahu diri membalas jasa masyarakat yang telah mati-matian memerjuangkan pesantren.

Karena itu, program pengembangan masyarakat yang dicanangkan pesantren merupakan salah satu cara untuk membalas jasa-jasa masyarakat. Balasan jasa dari pesantren tidak berupa materi, melainkan berupa ilmu yang bisa berguna untuk mengembangkan sayap masyarakat dalam pemburuan materi.

Dalam program ini, pesantren bermaksud menciptakan atau pun mencetak tenaga pembangunan masyarakat dari pesantren itu sendiri. Selanjutnya tenaga pembangunan masyarakat ini nantinya akan siap bertugas membantu warga desa untuk mengenal dan memanfaatkan potensi masyarakat yang mereka miliki. Program ini semata-mata diperuntukkan kepada masyarakat luas, terutama masyarakat yang kesulitan disentuh pendidikan. Salah satu cara bantuan kepada masyarakat tersebut dengan menghidupkan atau bahkan merencanakan program-program desa yang ia miliki.

Gus Dur begitu antusias mengeluarkan gagasan ini. Karena dia yakin bahwa dengan tawaran pemikiran terhadap pengembangan kurikulum tersebut pesantren nantinya akan dilirik oleh instansi-instansi terkait. Atau bahkan, jebolan pesantren akan mampu mengalahkan jebolan pendidikan dari pendidikan umum yang lebih dulu dinilai masyarakat mempunyai pengetahuan dan keterampilan lebih dibandingkan dengan jebolan pesantren.

Ide-ide di atas hanyalah sebuah tawaran dari seorang pemikir Gus Dur. Tapi perlu diingat, pimikiran Gus Dur kaitannya dengan pengembangan kurikulum tidak dengan mudah diterima pesantren. Karena apa yang dia tawarkan sangat sulit diterapkan. Sebab gagasan tersebut, jelas berbenturan dengan konsep pesantren yang terlanjur menyakini ilmu agama sebagai ilmu ahirat, akan sulit menerimanya.

* Penulis adalah Alumni santri Annuqayah Sumenep dan Sekarang Staf Pengajar di Ponpes Al-Ghazali.

Tidak ada komentar: