Sabtu, 14 Februari 2009

Pesantren tak selamanya mencetak ulama

Pesantren; Tak Selamanya Berhasil Mencetak Ulama
(Kamis, 8 Januari 2009 10:58:34 WIB)

Oleh: Durhan Ariev *



PAKAI sarung, sorban, bawa sajadah, tasbih dan berjenggot serta mengenakan pakaian serba putih ala orang baru datang dari Tanah Suci merupakan karakteristik santri. Selamanya karakteristik ini akan dipertahankan sesuai dengan misi pesantren yang tak lepas dengan budaya pakaian islaminya. Santri akan bersikeras mempromosikan gayanya, sekalipun mereka menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup signifikan.

Maka, timbulah kritikan pedas dari sebagian kalangan bahwa orang bersarung tidak layak dan tak pantas dijadikan suri tauladan. Hal ini dikarenakan sikap santri yang tidak memperhatikan situasi. Mereka selalu kental dengan kesantriannya walaupun saat itu gaya atau ciri khas kesantriannya "seharusnya" diletakkan. Seperti halnya masuk gedung dewan tidak boleh bersarung dan tak boleh memakai sandal jepit. Namun, sikap dan tutur sapa kelembutan harus tetap dipertahankan.

Semua itu, merupakan penanaman modal keimanan yang dilakukan pesantren kepada santrinya. Di mana pesantren sejak dini telah berusaha menyuburkan benih-benih keimanan yang dianggapnya kurang penyegaran dan pemeliharaan.

Karena itu, di sini-lah keunikan dan keajaiban pesantren. Di mana, vonis kuat masyarakat pesantren sebagai pengkaderan umat bermartabat, ternyata masih menyisakan pertanyaan. Ini bisa dilihat dari realita yang ada bahwa pesantren tidak selamanya mampu mencetak kiai ataupun ulama. Masih terdapat segelintir santri yang jauh dari harapan pesantren. Santri ini biasanya hanya numpang tidur, makan, mencuci, keluyuran dan sering melakukan hal-hal yang berlawanan dengan tata norma pesantren.

Santri yang memang mempunyai niat mencari ilmu, tak pernah menyerah dalam pemburuan ilmu. Sedangkan santri yang iseng (ikut-ikutan ataupun takut sama orang tuanya), sudah dipastikan akan terkapar menghadapi terjangan program pesantren yang begitu padat.

Taruhan santri agar dirinya benar-benar menjadi ulama dan kiai unggul, hanya terletak sejauh mana kesadaran dirinya selama nyantri. Keterbukaan kesadaran akan menopang motivasi diri dalam memburu ilmu-ilmu pesantren. Dan perlu diwaspadai bahwa ilmu pesantren tidak dengan mudah diperoleh. Melainkan membutuhkan usaha ekstra, karena ilmu pesantren tidak menganga di depan mata. Ilmu pesantren ternyata tersimpan di balik tabir yang hanya diberikan kepada mereka yang betul-betul mencarinya.

Anehnya, terkadang jebolan pesantren menjadi inspirator pergerakan kejahatan. Masyarakat yang seharusnya menemukan kesejukan kehidupan dengan ilmu-ilmu agama yang mereka peroleh, justru kelabakan dan ketakutan dengan tingkah laku yang mereka mainkan. Masyarakat dipaksa berdiam diri mengikuti kata nafsu serakahnya.

Maka, pesantren yang sempat digembar-gemborkan oleh Nurcholis Madjid sebagai komunitas yang mempunyai nilai keaslian (indigenous), ternyata tak ubahnya seperti permainan sepak bola yang disuguhkan secara dramatis. Di mana tidak semua pemain berhasil mencetak gol ke gawang yang memang menjadi tujuan akhir dalam permainan sepak bola.

Yang menjadi wasit dalam pesantren adalah kiai. Beliau berhak mengambil kebijakan dan keputusan menurut kata hatinya, keputusan yang tidak boleh diganggu gugat tersebut menjadi hak prerogatif kiai. Beliau pula berhak menghukum mereka yang melakukan pelanggaran, bahkan tidak segan-segan mengeluarkan kartu merah bagi santri yang melakukan pelanggaran luar biasa.

Santri sebagai pemain, tentunya mempunyai karakter berbeda-beda. Ada tipe penyerang, sayap, bertahan dan penjaga gawang. Secara akal, pemain yang sering membobol gawang lawan adalah pemain yang diletakkan di posisi penyerang. Rasio ini tidak bisa diputar balikkan karena seorang penyerang memang mempunyai selera mencetak gol dan mempunyai motivasi lebih dibanding dengan pemain lainnya.

Maka, hal ini sangat pas dicocokkan dengan santri yang tipe seperti penyerang. Mereka akan selalu berjuang tenaga, belajar dengan seksama dan tak akan menyerah sebelum berhasil membobol daya nalarnya dengan pengetahuan. Santri semacam ini, biasanya mendapat perhatian lebih dari kiai melihat semangatnya yang luar biasa. Bagitupun dalam sepak bola, pemain penyerang akan mendapat perhatian dari seorang wasit karena dihawatirkan melakukan cara-cara yang tidak benar.

Sementara pemain yang menempati posisi sayap, bertahan, apalagi penjaga gawang, tidak begitu mempunyai peran dalam adegan sepak bola. Mereka- hanya menunggu bola (bukan menjemput) sehingga mereka hanya memainkan bola ketika ada di kakinya. Begitu juga, santri yang tidak semangat, tidak akan diperhatikan kiai, bahkan mereka sering dimarahi karena tidak mampu meniru santri yang mempunyai semangat luar biasa.

Karena itu, pesantren tak luput dari pengawasan seorang kiai. Beliau memantau dalam hitungan jari dan waktu. Tingkah laku, perkataan dan perbuatan akan menjadi penilaian tersendiri bagi seorang kiai.

Yang jelas, banyaknya santri yang mondok sama-sama bertujuan menimba ilmu agama dan bermanfaat. Karena proses pencarian ilmu laksana ajang lomba, maka tidak semua santri mendapat ilmu yang diinginkan. Ada yang hanya dapat separuh, sempurna sampai tidak mendapat sama sekali.

Alhasil, pesantren sebagai tempat menimba ilmu keagamaan, selamanya akan mempertahankan nilai dan budaya keagamaannya. Namun, pesantren tak selamanya berhasil mencetak ulama dan kiai, pesantren terkadang gagal mengabulkan harapan masyarakat yang telanjur meyakini pesantren sebagai pengkaderan ulama. Ketidakberhasilan pesantren tersebut tak ubahnya seperti adegan permainan sepak bola, di mana tidak semua pemain berhasil mencetak gol ke gawang lawan.



* Alumni Pesantren Lubangsa Selatan Guluk-Guluk, Sekarang Staf Pengajar di Pesantren Hujjatul Islam Rombasan.

Tidak ada komentar: