Sabtu, 14 Februari 2009

Pesantren & tuduhan terorisme

Pesantren & Tuduhan Terorisme PDF Cetak E-mail
16/12/2008

Oleh : Durhan Ariev

Membincang pesantren laksana membaca sebuah cerita yang takkan pernah menemukan tanda baca koma dan titik. Hazanah pesantren selalu memberikan warna baru terhadap perjalanan kehidupan. Hingga pun pesantren tak ada putusnya menebar pesona untuk masyarakat luas.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam. Dimana di dalamnya terdapat interaksi antara kyai dan santri di tempat tertentu (surau dan masjid) sekaligus pesantren telah dianggap sebagai wadah untuk membina, mendidik watak dan prilaku masyarakat demi pencerahan masa depan.

Dalam pesantren itu sendiri terdapat nila-nilai religius yang sangat mendalam. Sebagaimana Nurcholis Madjid menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Sehingga sangat patut dan layak kiranya kalau pondok pesantren dinobatkan sebagai satu-satu wadah yang sampai sekarang tetap eksis mempertahankan nilai-nilai keislaman. Dalam artian, hanya pesantrenlah yang tetap tegar memberi pendidikan agama kepada masyarakat luas.

Kendati sering terpinggirkan, pesantren mempunyai peran yang signifikan bagi perubahan sosial.
Pengaruh pesantren dapat dilihat dari alumninya yang berhasil berkiprah di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Jebolan pondok pesantren akan menjadi ikon keagamaan. Berbaur dengan masyarakat berbagi rasa dan saling mengingatkan. Ada yang menjadi ulama, mereka akan dijadikan pemimpin tahlil dalam acara ritual, pemimpin dalam pencaturan pesta atau bahkan diyakini sebagai orang yang pandai memberi jampi-jampi mujarab bagi orang sakit (dukun). Ada lagi yang menjadi guru ngaji, pegawai, wirausaha dan sebagainya.

Pesantren-pesantren punya spesialisasi sesuai dengan lapangan keahlian kyainya. Ada pesantren yang dikenal sebagai sumber ilmu tafsir, ilmu falak, ilmu hadits, ilmu fikih, bahkan ilmu gaib bergantung pada bidang yang menjadi spesialisasi kyainya. Karena itu, belajar di pesantren sangat longgar, sehingga tidak terikat oleh waktu. Dahulu orang bebas “keluar-masuk” pesantren sesuai dengan kebutuhannya akan ilmu. Setelah merasa puas belajar disebuah pesantren seorang santri bisa pindah belajar ke pesantren lain yang kyainya terkenal ahli tafsir atau ahli ilmu falak.

Namun demikian, pesantren tidak mengeluarkan ijazah. Karena memang santri yang belajar di pesantren bukanlah untuk memperoleh ijazah yang tujuannya mencari pekerjaan. Orang belajar di pesantren untuk memenuhi hasratnya akan ilmu. Ilmu yang diperolehnya itu tidak selalu dijadikan alat utuk mencari nafkah. Lulusan pesantren tidak semua bahkan kebanyakan tampaknya tidak menjadi kyai atau guru agama.

Karena belajar di pesantren hanyalah menutut ilmu. Maka, yang menjadi peran vital dalam perjalanan roda pesantren tidak lain adalah seorang kyai. Dania (kyai) mempunyai hak prerogatif yang hal ini wajar karena kyai dianggap sebagai pemilik atau pendiri lembaga tersebut.

Hal ini pula yang membuat masyarakat memberikan hak lebih kepada kyai sebagai bentuk terimakasih atas usahanya selama ini. Maka tak heran kalau kemudian arah kebijakan pesantren bergantung pada paradigma kyai sebagai pengasuh pondok pesantren. Dan orang tua santripun secara ikhlash dan sepenuh hati memasrahkan putra-putrinya kepada kyai.
Seiring kebijakan tersebut, maka dapat kita baca kemana arah kyai dalam menuntun santrinya. Yang jelas, kyai akan mengarahkan santri-santrinya menuju jalan yang bercorak agama karena memang tujuan utama kyai mendirikan pondok pesantren mencetak anak didik yang berwawasan luas mengenai kegamaan, serta mendidik anak didiknya berprilaku baik dan sopan serta berbudi luhur.

Namun seiring perkembangan zaman, pesantren mau tidak mau harus lari dari kungkungan tradisional. ini penting, sebab lulusan pesantren selalu dianak tirikan dan dianggap tidak mempunyai kemampuan menduduki jabatan-jabatan penting.

Pesantren harus bisa keluar dari gaya tradisionalnya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa lulusan pesantren juga bisa berbicara dari segala bidang. Ketertinggalan dibidang sains dan tehnologi tidak boleh lagi terjadi didunia pesantren. Oleh karena itu, pesantren harus melakukan perubahan besar-besaran untuk mampu bersaing dalam kancah tantangan global.
Salah satu yang harus dirubah dalam dunia pesantren adalah penerapan system pendidikan dari tingkat madrasah maupun diniyah dengan memasukkan pendidikan unum. Serta melengkapi fasilitas-fasilitas yang menunjang masa depan lulusan pesantren. Maka dengan perubahan semacam ini, lulusan pesantren nantinya akan mempunyai kwalitas bagus dan bersaing dengan lulusan pendidikan umum. Apalagi santri dibimbing untuk mempunyai keterampilan HUSUS sebagai persiapan ketika pulang ke masyarakat nantinya. Yang pasti, jebolan pesantren akan menebar pesona.

Namun demikian, ditengah gencarnya pesantren melakuakan perubahan, justru pesantren mendapat sorotan. Lembaga pendidikan ini dianggap sebagai perkecambahan teroris. Maklum, para pelaku peledakan bom mayoritas adalah para alumni pondok pesantren. Tak heran bila pesantren kena getahnya. Kurikulum pesantrenpun harus dirubah, para santri diawasi.

Khotib-khotib di masjid yang mayoritas juga alumni pesantren dipelototi. Bahkan sebelum mengajar, santri atau alumni pesantren harus lapor polisi.

Masyarakat pun dibuat bingung terhadap lembaga pendidikan yang bernama pesantren. Tak terkecuali orang tua yang memiliki anak sedang menuntut ilmu di pesantren. Mereka hawatir anaknya dicekoki dengan pendidikan-pendidikan yang berbau jihad. Maka jangan salahkan mereka kalau seumpama menarik kembali purta-putrinya dan dimasukkan pada lembaga pendidikan umum. Bagaimana seharusnya kita memandang persoalan ini? Benarkah ajaran pesantren adalah bibit-bibit terorisme?. Andalah yang akan menjawabnya.

Tidak ada komentar: