Sabtu, 14 Februari 2009

Meneropong Keutamaan Lailatul Qadar

Meneropong Keutamaan Lailatul Qadar PDF Cetak E-mail
09/10/2007
Oleh : Durhan Ariev
“Sesungguhnya, kami turunkan (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apa ma lam kemuliaan itu ?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Jibril dengan idzin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar “. (QS : Al-Qadar : 1-5)
Adagium “Ilmu tanpa diamalkan laksana po hon tanpa buah” begitu appropriate dengan ke hampaan orang berpuasa yang tidak memak simalkan Lailatui Qadar dengan sebenarnya. Lai latul Qadar dibiarkan percuma tanpa sedikitpun disentuh dengan kalimat memuji Tuhan, mensuci kan Tuhan dan kalimat ampunan kepada Tuhan, mereka telah berani mendiskriminasikan ungkapan suci itu bahkan berani mengubahnya dengan alu nan merdu si kucing garong, jablai atau pun virus cinta.
Melihat dari itu terasa butuh kiranya untuk me ngasah kembali kesadaran akan keurgenan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar dengan misi beribadah “khai run min alfi syahrin” atau lebih baik dari 83 tahun 4 bulan adalah benar dan tak sedikit pun menyim pan kedustaan. Sehingga momen itu sangatlah penting untuk dipergunakan semaksimal mungkin. Bisa dibayangkan, orang yang hidup selama 83 ta hun tidak mungkin mengisi penuh umurnya dengan perbuatan yang bernilai ibadah, tapi perbuatan dosa “pasti” dikerjakannya, karena pada intinya untuk lari dari perbuatan dosa sangatlah sulit dan mustahil bagi umat sekarang untuk tidak menger jakan perbuatan dosa. Itupun kalau jatah umur sam pai pada hitungan 83 tahun, kalau tidak, apakah kita akan tetap menyia-nyiakan kemudahan beri badah dengan pahala yang begitu berlipat itu ?
Disinilah sebenarnya akar permasalahan mun cul, yaitu kurangnya keyakinan orang bahwa Ra madhan adalah bulan termulya dibandingkan de ngan bulan lainnya ditambah lagi “penyakit” malas untuk melakukan ibadah kepada Tuhan. Kurang nya keyakinan atau pun kemalasan yang melilit pada diri orang disebabkan oleh kurangnya bukti akan keutamaan Ramadhan dan Lailatul Qadar itu sendiri sehingga orang menganggap Ramadhan dan Lailatul Qadar biasa saja, lebih-lebih masyara kat awam yang sama sekali tidak tersentuh pen didikan.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa Allah mensut radarai semua kejadian termasuk Lailatul Qadar penuh dengan ujian dan cobaan, artinya keutama an-keutamaan yang ditawarkan tidak dengan mu dah didapat, tetapi memerlukan usaha ekstra dan tenaga lebih yang pada ahirnya mampu menghip notis sifat Rahman dan Rahim-Nya. Begitu pula dengan Lailatul Qadar, keutamaannya hanya da tang kepada orang-orang yang memang betul-betul memerlukan dan membutuhkan, dia tidak da tang kepada orang yang ibadahnya selaksana “seset mandhi”, tidak pula kepada orang yang menjadikan gunjingan, umpatan, cacian ataupun cemoohan sebagai menu utama ketika menjalan kan puasa. Dari itu, kapanpun, dimanapun dan sia papun yang berhasil menemukan Lailatul Qadar, Allah mempersilahkan untuk bercumbu rayu, ber mesraan atau bahkan berjunub ria sepuas-pusnya (dengan lailatul qadar) mulai kumandang adzan Maghrib sampai terbitnya fajar (Hattaa Mathla’il fajr), sebab malam itu semua malaikat turun ikut menari bahagia sekaligus menabuh gendrang bara kah untuk mereka yang sedang dilanda asmara.
Karena Lailatul Qadar menyimpan penuh ke utamaan, maka banyak dari kalangan mufassir ternama mencoba memberikan interpretasi tentang turunnya Lailatul Qadar, sebut saja Imam Malik, Hambali, Hanafi dan Syafi’i. Karena itu hanyalah sebatas tafsiran (ramalan) maka tak ubahnya se perti ramalah cuaca yang dilakukan oleh Badan Metereologi dan Geofisika (BMG), bisa benar bisa juga salah. Namun apa yang telah dilakukan oleh para mufassir harus tetap dihormati dan dihargai karena disamping bertujuan demi kemaslahatan, dengan multitafsir tersebut juga akan membuka jalan pengetahuan umat tentang waktu turunnya Lailatul Qadar itu. Karena disadari atau tidak, turun nya Lailatul Qadar adalah perkara ghaib yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tetapi dapat dirasa kan dengan jiwa. Hanya Allah yang mengetahui kapan dan siapa saja yang betul-betul berjuang dan pantas untuk meraih keutamaannya.
Nabi Muhammad tidak memberikan kepastian akan turunnya Lailatul Qadar, beliau hanya me nyampaikan bahwa Lailatul Qadar pasti terjadi pada bulan Ramadhan disepuluh hari terakhir, se bagaimana sabdanya kepada shahabat dan Siti Aisyah yang selalu mempertanyakan tentang malam itu :
“... Aku (Martsad) bertanya kepada Nabi “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah ada pada bulan Ramadhan atau pada bulan lain ?. “Nabi bersab da “Hanya ada pada bulan Ramadhan “. Aku pun bertanya “Apakah hanya terjadi pada Nabi atau kah ada sampai hari kiamat ?. “ Nabi menjawab “Bahkan tetap ada sampai hari kiamat”. Aku ber tanya lagi “Pada hari apa (Lailatul Qadar) pada bulan ramadhan ?. Nabi Bersabda “Carilah ma lam tersebut pada sepuluh hari terakhir dan ja nganlah kamu bertanya lagi kepadaku tentang sesuatu yang lain sesudah itu”. (HR. Ahmad)
“Dari Aisyah ra. Berkata : “Adalah Rasulullah SAW. bila tiba saatnya sepuluh hari terakhir, be liau mengencangkan ikat pinggangnya dan meng hidupkan malamnya serta membangunkan isteri-isterinya. “ (HR. Bukhari Muslim)
Ketidak jelasan Rasulullah dalam memberikan jawaban janganlah diartikan Rasulullah juga tidak mengetahui kapan Lailatul Qadari itu terjadi, tetapi jawaban itu lebih mengarah kepada uji keimanan, uji kelayakan dan uji kesungguhan seseorang da lam mencari Lailatul Qadar. Andaikata Rasulullah memberikan jawaban pasti (sebut saja tanggal 27 Ramadhan), maka dapat dipastikan umatnya akan berleha-leha tidak bersungguh-sungguh dalam pen carian Lailatul Qadar tersebut, paling tidak mereka hanya akan beribadah semalam suntuk pada waktu yang telah ditentukan itu. Dan dapat dipastikan pula (Andaikata Rasulullah memberikan jawaban pasti), jawaban Rasul tersebut adalah sebuah pem belajaran akan pentingnya sifat malas dan nakal dalam kehidupan yang pada akhirnya menjadikan pemuda, kader pemimpin enggan untuk berkreasi demi kemajuan masa depan.
Namun demikian Rasulullah tetap menaruh kasihan kepada umatnya, terutama bagi mereka yang tidak mendapat jatah Lailatul Qadar, Rasulullah tetap berkeinginan agar semua umatnya dapat me nikmati kesejukan dan keindahan Lailatul Qadar, sehingga Rasulullah sedikit memberikan sinyal te rang tentang turunnya malam termulya tersebut, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad :
“... Yaitu pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu hendaklah kamu mencarinya, pada sepuluh hari terakhir, karena ia terdapat pada hari-hari ganjil, yaitu pada malam 21 atau malam 23 atau malam 25 atau malam 27, atau malam 29 atau malam terakhir, “ (HR. Ahmad)
Maka tidak salah kiranya kalau setiap malam ganjil menyingsingkan lengan baju sekaligus mema sang kuda-kuda untuk memburu malam termulya tersebut, sebab bila Lailatul Qadar terlewatkan (Ramadhan tahun ini), maka orang tersebut harus rela dan bersabar menunggu kembali Ramadhan yang akan datang, itu pun kalau jatah umur masih ada, kalau ternyata selepas hari raya raya mening gal dunia, apa hendak dikata “Nasi telah menjadi bubur” , orang itu hanya bisa mendengar tanpa menikmati keindahan Lailatul Qadar itu sendiri.
Lailatul Qadar adalah perkara ghaib, tetapi ba gi mereka yang berhasil menjaringnya akan mera sakan keindahan dan ketenangan luar biasa yang sulit diungkapkan. Maka dari itu, Allah sengaja men jadikan malam Lailatul Qadar berbeda dengan malam-malam sebelumnya atau malam-malam sesu dahnya. Dari sini kemudian seseorang bisa menilai sekaligus memprediksi turunnya malam termulya itu. Allah mendesain Lailatui Qadar dengan mengu bah semua kebiasaan yang terjadi pada malam-malam sebelumnya. Sebut saja kalau malam sebe lumnya suasana ramai, malam itu sepi seperti sua sana mencekam. Pada waktu itu orang yang malas beribadah akan memilih berlabuh kedunia mimpi (tidur), tetapi tidak bagi ahli ibadah, malam itu ada lah malam istimewa yang hams dimanfaatkan seba ik mungkin. Begitu pula keesokan harinya , suasana berubah total, sinar matahari enggan untuk meman carkan cahaya panasnya seakan ikut juga berba hagia dengan turunnya Lailatul Qadar. Maka pada hari itulah orang yang telah berhasil menjaring Laila tul Qadar akan menemukan puncak ketenangan. Rasulullah bersabda :
“Dari Watsilah ra. Nabi saw bersabda : “Ma lam Lailatui Qadar adalah malam yang sedang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin, tidak pula ada bintang yang beralih, dan pada pagi harinya matahari terbit tanpa menyinarkan cahaya panas. “ (HRThabrani)
Menurut Romin Suhaili, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nurdin, ciri-ciri malam Lailatul Qa dar diantaranya adalah “Malam yang cerah de ngan angin sepoi-sepoi yang membawa ketena ngan pada diri”.
Walau demikian Lailatul Qadar sampai saat ini masih misteri lebih-lebih bagi mereka yang tidak pernah merasa mendapat keutamaan malam termul ya itu. Sebab tanda-tanda semacam diatas hanya lah sekedar kiasan buatan manusia yang pada inti nya masih menyisakan segudang pertanyaan. Na mun tidak boleh dipungkiri bahwa Lailatul Qadar dengan tawaran pahalanya lebih baik dari seribu bulan adalah benar dan betul-betul terjadi dibulan Ramadhan (Al-Qadar 1-5). Sehingga sangat primitif kiranya kalau umat Islam kemudian hanya ingin beribadah pada waktu-waktu yang diyakini Lailatul Qadar turun (jika boleh meminjam istilah ekonomi “Modal sedikit harus mendapatkan barang yang sebanyak-banyaknya”). Kalau memang seseorang menginginkan keutamaan malam termulya tersebut, apakah salah atau merugikah kalau seumpamanya memburu Lailatul Qadar semenjak gong Ramadhan ditabuh ?. Yang jelas, ketika Ramadhan telah diman faatkan semaksimal mungkin, malam-malamnya diisi dengan perbuatan yang bernilai ibadah tanpa sedikit pun terlewatkan, maka dengan sendirinya, Lailatul Qadar akan merasa “kasihan” kepada me reka yang sejak dini telah bergerilya untuk menda patkannya. Selamat memburu Lailatui Qadar !


< S

Tidak ada komentar: