Sabtu, 14 Februari 2009

Takbir Kemenangan Pendidikan Islam (Pesantren)

Takbir Kemenangan Pendidikan Islam (Pesantren)
Rabu, 24 Desember 2008

Oleh: Durhan Ariev



INNAMAA buitstu li utammima makaarimal akhlaq. Kalimat inilah yang menjadi pedoman semua kalangan ulama, kiai, guru ngaji dan orang-orang yang bergelut dalam bidang agama. Mereka meyakini, dengan hadits yang disampaikan Rasul tersebut menandakan bahwa akhlaq menjadi target utama dalam pendidikan di serantau jagad ini.

Itu pula yang menjadi gambaran awal kejadian silam. Di mana penduduknya (mungkin: baca sekadar tafsiran) tidak mempunyai akhlaq yang membawa pada kehidupan damai dan nyaman. Tentu saja, pertikaian, pemerkosaan dan pembunuhan serta perampokan menjadi sajian utama dan pertama tempo dulu. Orang-orang lemah dibuat ketakutan, lari tunggang-langgang ketika berhadapan dengan orang yang berkuasa. Begitu pula para wanita disulap tak bernyawa ketika mencoba melawan dan menentang kemauannya. Al-hasil kehidupan tempo dulu begitu tragis, biadab serta tak ber perikemanusiaan.

Ternyata, sejarah masa silam tidak hanya sekadar dijadikan referensi sejarah. Melainkan remaja hari ini mencoba membangkitkan kembali budaya kurang sedap yang sempat dipraktikkan oleh orang-orang sebelum kita. Hal ini bisa dilihat dari serangkaian prilaku remaja yang lebih mengedepankan kemauan kata nafsu dari pada kata hati. Tawuran antarpelajar, praktik seksual di lembaga, pesta narkoba, pencopetan dan aksi porno kawula muda menjadi saksi bisu atas kebejatan akhlaq dan moral remaja. Maka, fenomena semacam di atas, secara sadar menyentuh dinding-dinding pesantren yang kemudian diabadikan dalam komitmen perjuangan pesantren.

Pesantren menganggap, prilaku semacam itu secara tidak langsung menghina Islam karena memang yang mempraktikkan prilaku bejat tersebut adalah orang-orang Islam. Hingga sampai ini, umat Islam seakan menjadi garda depan atas kebobrokan situasi yang menghinggapi negara ini.

Karena itu, pesantren sebagai pendidikan Islam tertua di Indonesia, mencoba meletakkan penanaman pendidikan berbasis sopan santun pada agenda pertama. Ini tak lebih dari rasa simpati pesantren melihat perjalanan alam yang sudah diambang kehancuran.

Pesantren terus berjuang memberikan sentuhan dan stimulus akhlaq lewat program-program yang telah disusun oleh pungguwa pesantren. Konsep Rasulullah yang mengajarkan pentingnya akhlaq dalam keseharian betul-betul dipraktikkan secara nyata dalam pesantren.

Penggemblengan terhadap moral untuk membentuk manusia berakhlaqul karimah yang pada akhirnya mampu bersikap sopan dan berbahasa santun bisa dilihat dari gaya pesantren atau orang-orang pesantrennya. Seorang kiai yang memegang tampuk kekuasaan, akan selalu mempraktikkan sikap ramah dan bersahaja kepada santrinya. Beliau tidak pernah marah -apalagi mengusir, walau pun santri berbuat keonaran. Justru balik memberi nasehat dan konsep jitu yang pernah diwasiatkan Rasulullah.

Pemimpin pesantren (kiai) sadar bahwa dirinya harus berhati-hati dalam melangkah dan berbicara. Karena beliau yakin apa yang dipraktikkannya akan diterjemahkan oleh santri yang melihatnya. Sebab itu, kiai selalu tampil gagah, ramah, dan ceria. Ini dimaksudkan agar santri nantinya bisa meneladani prilaku yang dipraktikkannya.

Selain itu, dalam pendidikan formalnya, pesantren memberikan pendidikan berupa materi aqidah akhlaq. Dalam materi tersebut, diajarkan aneka ragam akhlaq dan tata norma dari segala bidang. Bagaimana akhlaq ketika tidur, ketika bermain, menghadapi guru, berbaur dengan tetangga dan akhlaq kepada orang tua.

Kemudian, teori di luar pendidikan formal, mereka (santri) dicekoki aneka ragam kitab moral yang dikemas dalam bentuk pengajian sorogan. Dari safinatu an-najah, sullam at-taufiq sampai bidayatu al-hidayah. Tak lupa pula, mereka sering dihadapkan kepada kiai untuk sekadar berani menggunakan bahasa-bahasa halus dan sopan. Ini diperuntukkan kepada santrinya yang akhirnya mampu menjadi suri tauladan ketika terjun ke masyarakat.

Namun demikian, usaha hanyalah usaha. Yang memberikan hidayah dan yang memberikan keputusan akan berhasil dan tidaknya santri mempraktikkan akhlaqul karimah hanyalah Allah. Yang jelas, tidak semua santri berhasil mempraktikkannya. Ini bisa dilihat dari santri yang terkadang prilakunya lebih parah dari anak yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Namun setidaknya, pesantren telah memberi andil cukup terhadap perkembangan mental dan prilaku anak untuk menjadi manusia kaffah yang mengerti terhadap pola dan tingkah laku sebagaimana diinginkan Alquran dan Hadits.

Santri yang tidak berhasil menyerap akar akhlaq karimah yang tertanam dalam pesantren, biasanya sering tidak patuh terhadap aturan. Mereka lebih mengedepankan ngobrol ketimbang ikut pengajian. Lebih senang jalan-jalan daripada belajar kelompok. Dan yang paling parah mereka telah menganggap lebih penting menghafal musik daripada menghafal Alquran.

Pesantren hari ini (baca: santrinya) seakan tidak mampu mempraktikkan akhlaq yang sempat dicontohkan Rasulullah. Sifat keikhlasan dalam memberikan nasehat terhadap orang lain tidak bisa ditiru oleh dewan asatidz, menisik dan mencuci baju sendiri tak mampu dipraktikkan oleh para pengasuh. Padahal, secara kealiman dan kewibawaan lebih unggul Rasulullah, tetapi mengapa mereka-mereka tidak mampu menyontoh?

Karena itu, pesantren harus lebih meningkatkan program-program demi tercapainya anak berakhlaqul karimah, sopan dalam melangkah dan santun dalam bertutur. Jangan sampai agenda utama pesantren menjadikan santri bermartabat dan bersahaja tidak terselesaikan. Bukti bahwa pesantren lebih unggul dibidang moral, itulah yang penulis maksudkan dengan

Takbir Kemenangan Pesantren.





* Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep dan Staf Pengajar di Pesantren Al-Ghazali.

Pesantren tak selamanya mencetak ulama

Pesantren; Tak Selamanya Berhasil Mencetak Ulama
(Kamis, 8 Januari 2009 10:58:34 WIB)

Oleh: Durhan Ariev *



PAKAI sarung, sorban, bawa sajadah, tasbih dan berjenggot serta mengenakan pakaian serba putih ala orang baru datang dari Tanah Suci merupakan karakteristik santri. Selamanya karakteristik ini akan dipertahankan sesuai dengan misi pesantren yang tak lepas dengan budaya pakaian islaminya. Santri akan bersikeras mempromosikan gayanya, sekalipun mereka menghadapi berbagai macam tantangan yang cukup signifikan.

Maka, timbulah kritikan pedas dari sebagian kalangan bahwa orang bersarung tidak layak dan tak pantas dijadikan suri tauladan. Hal ini dikarenakan sikap santri yang tidak memperhatikan situasi. Mereka selalu kental dengan kesantriannya walaupun saat itu gaya atau ciri khas kesantriannya "seharusnya" diletakkan. Seperti halnya masuk gedung dewan tidak boleh bersarung dan tak boleh memakai sandal jepit. Namun, sikap dan tutur sapa kelembutan harus tetap dipertahankan.

Semua itu, merupakan penanaman modal keimanan yang dilakukan pesantren kepada santrinya. Di mana pesantren sejak dini telah berusaha menyuburkan benih-benih keimanan yang dianggapnya kurang penyegaran dan pemeliharaan.

Karena itu, di sini-lah keunikan dan keajaiban pesantren. Di mana, vonis kuat masyarakat pesantren sebagai pengkaderan umat bermartabat, ternyata masih menyisakan pertanyaan. Ini bisa dilihat dari realita yang ada bahwa pesantren tidak selamanya mampu mencetak kiai ataupun ulama. Masih terdapat segelintir santri yang jauh dari harapan pesantren. Santri ini biasanya hanya numpang tidur, makan, mencuci, keluyuran dan sering melakukan hal-hal yang berlawanan dengan tata norma pesantren.

Santri yang memang mempunyai niat mencari ilmu, tak pernah menyerah dalam pemburuan ilmu. Sedangkan santri yang iseng (ikut-ikutan ataupun takut sama orang tuanya), sudah dipastikan akan terkapar menghadapi terjangan program pesantren yang begitu padat.

Taruhan santri agar dirinya benar-benar menjadi ulama dan kiai unggul, hanya terletak sejauh mana kesadaran dirinya selama nyantri. Keterbukaan kesadaran akan menopang motivasi diri dalam memburu ilmu-ilmu pesantren. Dan perlu diwaspadai bahwa ilmu pesantren tidak dengan mudah diperoleh. Melainkan membutuhkan usaha ekstra, karena ilmu pesantren tidak menganga di depan mata. Ilmu pesantren ternyata tersimpan di balik tabir yang hanya diberikan kepada mereka yang betul-betul mencarinya.

Anehnya, terkadang jebolan pesantren menjadi inspirator pergerakan kejahatan. Masyarakat yang seharusnya menemukan kesejukan kehidupan dengan ilmu-ilmu agama yang mereka peroleh, justru kelabakan dan ketakutan dengan tingkah laku yang mereka mainkan. Masyarakat dipaksa berdiam diri mengikuti kata nafsu serakahnya.

Maka, pesantren yang sempat digembar-gemborkan oleh Nurcholis Madjid sebagai komunitas yang mempunyai nilai keaslian (indigenous), ternyata tak ubahnya seperti permainan sepak bola yang disuguhkan secara dramatis. Di mana tidak semua pemain berhasil mencetak gol ke gawang yang memang menjadi tujuan akhir dalam permainan sepak bola.

Yang menjadi wasit dalam pesantren adalah kiai. Beliau berhak mengambil kebijakan dan keputusan menurut kata hatinya, keputusan yang tidak boleh diganggu gugat tersebut menjadi hak prerogatif kiai. Beliau pula berhak menghukum mereka yang melakukan pelanggaran, bahkan tidak segan-segan mengeluarkan kartu merah bagi santri yang melakukan pelanggaran luar biasa.

Santri sebagai pemain, tentunya mempunyai karakter berbeda-beda. Ada tipe penyerang, sayap, bertahan dan penjaga gawang. Secara akal, pemain yang sering membobol gawang lawan adalah pemain yang diletakkan di posisi penyerang. Rasio ini tidak bisa diputar balikkan karena seorang penyerang memang mempunyai selera mencetak gol dan mempunyai motivasi lebih dibanding dengan pemain lainnya.

Maka, hal ini sangat pas dicocokkan dengan santri yang tipe seperti penyerang. Mereka akan selalu berjuang tenaga, belajar dengan seksama dan tak akan menyerah sebelum berhasil membobol daya nalarnya dengan pengetahuan. Santri semacam ini, biasanya mendapat perhatian lebih dari kiai melihat semangatnya yang luar biasa. Bagitupun dalam sepak bola, pemain penyerang akan mendapat perhatian dari seorang wasit karena dihawatirkan melakukan cara-cara yang tidak benar.

Sementara pemain yang menempati posisi sayap, bertahan, apalagi penjaga gawang, tidak begitu mempunyai peran dalam adegan sepak bola. Mereka- hanya menunggu bola (bukan menjemput) sehingga mereka hanya memainkan bola ketika ada di kakinya. Begitu juga, santri yang tidak semangat, tidak akan diperhatikan kiai, bahkan mereka sering dimarahi karena tidak mampu meniru santri yang mempunyai semangat luar biasa.

Karena itu, pesantren tak luput dari pengawasan seorang kiai. Beliau memantau dalam hitungan jari dan waktu. Tingkah laku, perkataan dan perbuatan akan menjadi penilaian tersendiri bagi seorang kiai.

Yang jelas, banyaknya santri yang mondok sama-sama bertujuan menimba ilmu agama dan bermanfaat. Karena proses pencarian ilmu laksana ajang lomba, maka tidak semua santri mendapat ilmu yang diinginkan. Ada yang hanya dapat separuh, sempurna sampai tidak mendapat sama sekali.

Alhasil, pesantren sebagai tempat menimba ilmu keagamaan, selamanya akan mempertahankan nilai dan budaya keagamaannya. Namun, pesantren tak selamanya berhasil mencetak ulama dan kiai, pesantren terkadang gagal mengabulkan harapan masyarakat yang telanjur meyakini pesantren sebagai pengkaderan ulama. Ketidakberhasilan pesantren tersebut tak ubahnya seperti adegan permainan sepak bola, di mana tidak semua pemain berhasil mencetak gol ke gawang lawan.



* Alumni Pesantren Lubangsa Selatan Guluk-Guluk, Sekarang Staf Pengajar di Pesantren Hujjatul Islam Rombasan.

Meneropong Keutamaan Lailatul Qadar

Meneropong Keutamaan Lailatul Qadar PDF Cetak E-mail
09/10/2007
Oleh : Durhan Ariev
“Sesungguhnya, kami turunkan (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apa ma lam kemuliaan itu ?. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Jibril dengan idzin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar “. (QS : Al-Qadar : 1-5)
Adagium “Ilmu tanpa diamalkan laksana po hon tanpa buah” begitu appropriate dengan ke hampaan orang berpuasa yang tidak memak simalkan Lailatui Qadar dengan sebenarnya. Lai latul Qadar dibiarkan percuma tanpa sedikitpun disentuh dengan kalimat memuji Tuhan, mensuci kan Tuhan dan kalimat ampunan kepada Tuhan, mereka telah berani mendiskriminasikan ungkapan suci itu bahkan berani mengubahnya dengan alu nan merdu si kucing garong, jablai atau pun virus cinta.
Melihat dari itu terasa butuh kiranya untuk me ngasah kembali kesadaran akan keurgenan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar dengan misi beribadah “khai run min alfi syahrin” atau lebih baik dari 83 tahun 4 bulan adalah benar dan tak sedikit pun menyim pan kedustaan. Sehingga momen itu sangatlah penting untuk dipergunakan semaksimal mungkin. Bisa dibayangkan, orang yang hidup selama 83 ta hun tidak mungkin mengisi penuh umurnya dengan perbuatan yang bernilai ibadah, tapi perbuatan dosa “pasti” dikerjakannya, karena pada intinya untuk lari dari perbuatan dosa sangatlah sulit dan mustahil bagi umat sekarang untuk tidak menger jakan perbuatan dosa. Itupun kalau jatah umur sam pai pada hitungan 83 tahun, kalau tidak, apakah kita akan tetap menyia-nyiakan kemudahan beri badah dengan pahala yang begitu berlipat itu ?
Disinilah sebenarnya akar permasalahan mun cul, yaitu kurangnya keyakinan orang bahwa Ra madhan adalah bulan termulya dibandingkan de ngan bulan lainnya ditambah lagi “penyakit” malas untuk melakukan ibadah kepada Tuhan. Kurang nya keyakinan atau pun kemalasan yang melilit pada diri orang disebabkan oleh kurangnya bukti akan keutamaan Ramadhan dan Lailatul Qadar itu sendiri sehingga orang menganggap Ramadhan dan Lailatul Qadar biasa saja, lebih-lebih masyara kat awam yang sama sekali tidak tersentuh pen didikan.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa Allah mensut radarai semua kejadian termasuk Lailatul Qadar penuh dengan ujian dan cobaan, artinya keutama an-keutamaan yang ditawarkan tidak dengan mu dah didapat, tetapi memerlukan usaha ekstra dan tenaga lebih yang pada ahirnya mampu menghip notis sifat Rahman dan Rahim-Nya. Begitu pula dengan Lailatul Qadar, keutamaannya hanya da tang kepada orang-orang yang memang betul-betul memerlukan dan membutuhkan, dia tidak da tang kepada orang yang ibadahnya selaksana “seset mandhi”, tidak pula kepada orang yang menjadikan gunjingan, umpatan, cacian ataupun cemoohan sebagai menu utama ketika menjalan kan puasa. Dari itu, kapanpun, dimanapun dan sia papun yang berhasil menemukan Lailatul Qadar, Allah mempersilahkan untuk bercumbu rayu, ber mesraan atau bahkan berjunub ria sepuas-pusnya (dengan lailatul qadar) mulai kumandang adzan Maghrib sampai terbitnya fajar (Hattaa Mathla’il fajr), sebab malam itu semua malaikat turun ikut menari bahagia sekaligus menabuh gendrang bara kah untuk mereka yang sedang dilanda asmara.
Karena Lailatul Qadar menyimpan penuh ke utamaan, maka banyak dari kalangan mufassir ternama mencoba memberikan interpretasi tentang turunnya Lailatul Qadar, sebut saja Imam Malik, Hambali, Hanafi dan Syafi’i. Karena itu hanyalah sebatas tafsiran (ramalan) maka tak ubahnya se perti ramalah cuaca yang dilakukan oleh Badan Metereologi dan Geofisika (BMG), bisa benar bisa juga salah. Namun apa yang telah dilakukan oleh para mufassir harus tetap dihormati dan dihargai karena disamping bertujuan demi kemaslahatan, dengan multitafsir tersebut juga akan membuka jalan pengetahuan umat tentang waktu turunnya Lailatul Qadar itu. Karena disadari atau tidak, turun nya Lailatul Qadar adalah perkara ghaib yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tetapi dapat dirasa kan dengan jiwa. Hanya Allah yang mengetahui kapan dan siapa saja yang betul-betul berjuang dan pantas untuk meraih keutamaannya.
Nabi Muhammad tidak memberikan kepastian akan turunnya Lailatul Qadar, beliau hanya me nyampaikan bahwa Lailatul Qadar pasti terjadi pada bulan Ramadhan disepuluh hari terakhir, se bagaimana sabdanya kepada shahabat dan Siti Aisyah yang selalu mempertanyakan tentang malam itu :
“... Aku (Martsad) bertanya kepada Nabi “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah ada pada bulan Ramadhan atau pada bulan lain ?. “Nabi bersab da “Hanya ada pada bulan Ramadhan “. Aku pun bertanya “Apakah hanya terjadi pada Nabi atau kah ada sampai hari kiamat ?. “ Nabi menjawab “Bahkan tetap ada sampai hari kiamat”. Aku ber tanya lagi “Pada hari apa (Lailatul Qadar) pada bulan ramadhan ?. Nabi Bersabda “Carilah ma lam tersebut pada sepuluh hari terakhir dan ja nganlah kamu bertanya lagi kepadaku tentang sesuatu yang lain sesudah itu”. (HR. Ahmad)
“Dari Aisyah ra. Berkata : “Adalah Rasulullah SAW. bila tiba saatnya sepuluh hari terakhir, be liau mengencangkan ikat pinggangnya dan meng hidupkan malamnya serta membangunkan isteri-isterinya. “ (HR. Bukhari Muslim)
Ketidak jelasan Rasulullah dalam memberikan jawaban janganlah diartikan Rasulullah juga tidak mengetahui kapan Lailatul Qadari itu terjadi, tetapi jawaban itu lebih mengarah kepada uji keimanan, uji kelayakan dan uji kesungguhan seseorang da lam mencari Lailatul Qadar. Andaikata Rasulullah memberikan jawaban pasti (sebut saja tanggal 27 Ramadhan), maka dapat dipastikan umatnya akan berleha-leha tidak bersungguh-sungguh dalam pen carian Lailatul Qadar tersebut, paling tidak mereka hanya akan beribadah semalam suntuk pada waktu yang telah ditentukan itu. Dan dapat dipastikan pula (Andaikata Rasulullah memberikan jawaban pasti), jawaban Rasul tersebut adalah sebuah pem belajaran akan pentingnya sifat malas dan nakal dalam kehidupan yang pada akhirnya menjadikan pemuda, kader pemimpin enggan untuk berkreasi demi kemajuan masa depan.
Namun demikian Rasulullah tetap menaruh kasihan kepada umatnya, terutama bagi mereka yang tidak mendapat jatah Lailatul Qadar, Rasulullah tetap berkeinginan agar semua umatnya dapat me nikmati kesejukan dan keindahan Lailatul Qadar, sehingga Rasulullah sedikit memberikan sinyal te rang tentang turunnya malam termulya tersebut, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad :
“... Yaitu pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu hendaklah kamu mencarinya, pada sepuluh hari terakhir, karena ia terdapat pada hari-hari ganjil, yaitu pada malam 21 atau malam 23 atau malam 25 atau malam 27, atau malam 29 atau malam terakhir, “ (HR. Ahmad)
Maka tidak salah kiranya kalau setiap malam ganjil menyingsingkan lengan baju sekaligus mema sang kuda-kuda untuk memburu malam termulya tersebut, sebab bila Lailatul Qadar terlewatkan (Ramadhan tahun ini), maka orang tersebut harus rela dan bersabar menunggu kembali Ramadhan yang akan datang, itu pun kalau jatah umur masih ada, kalau ternyata selepas hari raya raya mening gal dunia, apa hendak dikata “Nasi telah menjadi bubur” , orang itu hanya bisa mendengar tanpa menikmati keindahan Lailatul Qadar itu sendiri.
Lailatul Qadar adalah perkara ghaib, tetapi ba gi mereka yang berhasil menjaringnya akan mera sakan keindahan dan ketenangan luar biasa yang sulit diungkapkan. Maka dari itu, Allah sengaja men jadikan malam Lailatul Qadar berbeda dengan malam-malam sebelumnya atau malam-malam sesu dahnya. Dari sini kemudian seseorang bisa menilai sekaligus memprediksi turunnya malam termulya itu. Allah mendesain Lailatui Qadar dengan mengu bah semua kebiasaan yang terjadi pada malam-malam sebelumnya. Sebut saja kalau malam sebe lumnya suasana ramai, malam itu sepi seperti sua sana mencekam. Pada waktu itu orang yang malas beribadah akan memilih berlabuh kedunia mimpi (tidur), tetapi tidak bagi ahli ibadah, malam itu ada lah malam istimewa yang hams dimanfaatkan seba ik mungkin. Begitu pula keesokan harinya , suasana berubah total, sinar matahari enggan untuk meman carkan cahaya panasnya seakan ikut juga berba hagia dengan turunnya Lailatul Qadar. Maka pada hari itulah orang yang telah berhasil menjaring Laila tul Qadar akan menemukan puncak ketenangan. Rasulullah bersabda :
“Dari Watsilah ra. Nabi saw bersabda : “Ma lam Lailatui Qadar adalah malam yang sedang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin, tidak pula ada bintang yang beralih, dan pada pagi harinya matahari terbit tanpa menyinarkan cahaya panas. “ (HRThabrani)
Menurut Romin Suhaili, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Nurdin, ciri-ciri malam Lailatul Qa dar diantaranya adalah “Malam yang cerah de ngan angin sepoi-sepoi yang membawa ketena ngan pada diri”.
Walau demikian Lailatul Qadar sampai saat ini masih misteri lebih-lebih bagi mereka yang tidak pernah merasa mendapat keutamaan malam termul ya itu. Sebab tanda-tanda semacam diatas hanya lah sekedar kiasan buatan manusia yang pada inti nya masih menyisakan segudang pertanyaan. Na mun tidak boleh dipungkiri bahwa Lailatul Qadar dengan tawaran pahalanya lebih baik dari seribu bulan adalah benar dan betul-betul terjadi dibulan Ramadhan (Al-Qadar 1-5). Sehingga sangat primitif kiranya kalau umat Islam kemudian hanya ingin beribadah pada waktu-waktu yang diyakini Lailatul Qadar turun (jika boleh meminjam istilah ekonomi “Modal sedikit harus mendapatkan barang yang sebanyak-banyaknya”). Kalau memang seseorang menginginkan keutamaan malam termulya tersebut, apakah salah atau merugikah kalau seumpamanya memburu Lailatul Qadar semenjak gong Ramadhan ditabuh ?. Yang jelas, ketika Ramadhan telah diman faatkan semaksimal mungkin, malam-malamnya diisi dengan perbuatan yang bernilai ibadah tanpa sedikit pun terlewatkan, maka dengan sendirinya, Lailatul Qadar akan merasa “kasihan” kepada me reka yang sejak dini telah bergerilya untuk menda patkannya. Selamat memburu Lailatui Qadar !


< S

Reformasi pesantren ala gusdur

Radar Madura
[ Rabu, 15 Oktober 2008 ]
Reformasi Pesantren Ala Gus Dur
Oleh Durhan Ariev *

SUNGGUH Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari pondok pesantren. Dia yang dibesarkan dari rahim pesantren tak ubahnya sebagai mukjizat pesantren yang selalu berpikir bagaimana langkah ke depan yang harus dilakukan oleh pesantren. Dengan pemikiran Gus Dur, pesantren mampu membelalakkan mata masyarakat luas yang nota bene menganggap pesantren tidak bisa berbuat-apa-apa.

Karena itu, selain program-program yang pernah ditawarkan Gus Dur, ternyata masih ada tawaran-tawaran pemikiran lain dari seorang Gus Dur terkait langkah masa depan pesantren itu sendiri.

Untuk semakin mendapat kepercayaan masyarakat, pesantren menurut Gus Dur harus berani menerapkan program sekolah-sekolah non agama di pesantren. Walaupun mayoritas pondok pesantren tidak menginginkan pelajaran nonagama. Tetapi, program ini sangatlah mendukung masa depan pesantren. Ketidak sukaan pesantren dengan pelajaran nonagama, dikarenakan adanya kekhawatiran pesantren akan hilangnya ruh pelajaran agama karena telah dicampur adukkan dengan pelajaran umum. Pesantren yang menjadi penggemblengan kader-kader kiai dan ulama berusaha dijauhkan dari pelajaran umum. Kalaupun ada, pelajaran umum hanya sekadar dipelajari setengah-setengah.

Akibat dari alerginya terhadap pelajaran agama, santri menjadi buta dengan wawasan kenegaraan, malu bercelana dan menganggap lucu orang berdasi. Namun tidak sebaliknya, santri akan merasa berdosa manakala tidak bersurban, merasa melakukan dosa besar ketika sepintas membuka aurat. Hal ini tak lepas dari doktrin kuat keagamaan yang ditanam semenjak dini.

Namun, ketika pesantren masih tetap dengan tradisi agamanya (menolak pelajaran umum), maka bisa jadi santri menjadi kaku menghadapi tantangan global dan mereka akan tercengang dengan dahsyatnya peradaban.

Oleh karena itu, Gus Dur mencoba menawarkan percobaan kurikulum dengan memprogramkan sekolah nonagama di pesantren. Ini dimaksudnya untuk meningkatkan mutu santri dalam keilmuan. Dengan menerapkan progran sekolah nonagama, keilmuan santri nantinya menjadi berimbang antara pendidikan agama dan pendidikan nonagama.

Penerapan program ini lebih baik dibandingkan program pesantren yang agamis dengan memperbanyak pendirian madrasah dan cendrung setengah-setengah dalam pelaksanaan kurikulum nonagama.

Pelaksanaan progran sekolah nonagama ini dilaksanakan di lingkungan pesantren. Sementara pelajaran agama, disamping diselipkan pada lembagan nonagama juga jadikan kegiatan nonkurikulur. Yaitu dengan mengembangkan di luar sekolah nonagama tetapi masih dalam lingkup pondok pesantren bukan dijalankan di luar pondok.

Program ini tidak merubah pola lama yang memang menjadi tradisi pesantren, dimana sang kiai tetap menjadi pemeran utama dalam pelaksanaan pesantren tersebut, justru program seperti ini merupakan program tambahan untuk mengimbangi ilmu agama yang dimiliki santri.

Demi semakin mantapnya, pesantren harus pula berani menerapkan program pengembangan masyarakat. Salah satu karakteristik pondok pesantren adalah adanya permintaan masyarakat untuk mendirikan pondok pesantren. Dari ini bisa dipahami, bahwa berdirinya pesantren tidak lepas dari peran serta masyarakat. Bukan hanya itu, dalam pemeliharaan serta memajukan pesantren itu sendiri, pihak pesantren juga membutuhkan masyarakat, sebab dalam pesantren haruslah ada komponen yang diantaranya adalah santri. Sedangkan santri harus didatangkan dari masyarakat sebagai pendukung utama dalam kelangsungan pondok pesantren.

Karena masyarakat telah berperan besar dalam perjalanan pesantren, maka pesatren sendiri harus tahu diri membalas jasa masyarakat yang telah mati-matian memerjuangkan pesantren.

Karena itu, program pengembangan masyarakat yang dicanangkan pesantren merupakan salah satu cara untuk membalas jasa-jasa masyarakat. Balasan jasa dari pesantren tidak berupa materi, melainkan berupa ilmu yang bisa berguna untuk mengembangkan sayap masyarakat dalam pemburuan materi.

Dalam program ini, pesantren bermaksud menciptakan atau pun mencetak tenaga pembangunan masyarakat dari pesantren itu sendiri. Selanjutnya tenaga pembangunan masyarakat ini nantinya akan siap bertugas membantu warga desa untuk mengenal dan memanfaatkan potensi masyarakat yang mereka miliki. Program ini semata-mata diperuntukkan kepada masyarakat luas, terutama masyarakat yang kesulitan disentuh pendidikan. Salah satu cara bantuan kepada masyarakat tersebut dengan menghidupkan atau bahkan merencanakan program-program desa yang ia miliki.

Gus Dur begitu antusias mengeluarkan gagasan ini. Karena dia yakin bahwa dengan tawaran pemikiran terhadap pengembangan kurikulum tersebut pesantren nantinya akan dilirik oleh instansi-instansi terkait. Atau bahkan, jebolan pesantren akan mampu mengalahkan jebolan pendidikan dari pendidikan umum yang lebih dulu dinilai masyarakat mempunyai pengetahuan dan keterampilan lebih dibandingkan dengan jebolan pesantren.

Ide-ide di atas hanyalah sebuah tawaran dari seorang pemikir Gus Dur. Tapi perlu diingat, pimikiran Gus Dur kaitannya dengan pengembangan kurikulum tidak dengan mudah diterima pesantren. Karena apa yang dia tawarkan sangat sulit diterapkan. Sebab gagasan tersebut, jelas berbenturan dengan konsep pesantren yang terlanjur menyakini ilmu agama sebagai ilmu ahirat, akan sulit menerimanya.

* Penulis adalah Alumni santri Annuqayah Sumenep dan Sekarang Staf Pengajar di Ponpes Al-Ghazali.

Pesantren & tuduhan terorisme

Pesantren & Tuduhan Terorisme PDF Cetak E-mail
16/12/2008

Oleh : Durhan Ariev

Membincang pesantren laksana membaca sebuah cerita yang takkan pernah menemukan tanda baca koma dan titik. Hazanah pesantren selalu memberikan warna baru terhadap perjalanan kehidupan. Hingga pun pesantren tak ada putusnya menebar pesona untuk masyarakat luas.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam. Dimana di dalamnya terdapat interaksi antara kyai dan santri di tempat tertentu (surau dan masjid) sekaligus pesantren telah dianggap sebagai wadah untuk membina, mendidik watak dan prilaku masyarakat demi pencerahan masa depan.

Dalam pesantren itu sendiri terdapat nila-nilai religius yang sangat mendalam. Sebagaimana Nurcholis Madjid menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Sehingga sangat patut dan layak kiranya kalau pondok pesantren dinobatkan sebagai satu-satu wadah yang sampai sekarang tetap eksis mempertahankan nilai-nilai keislaman. Dalam artian, hanya pesantrenlah yang tetap tegar memberi pendidikan agama kepada masyarakat luas.

Kendati sering terpinggirkan, pesantren mempunyai peran yang signifikan bagi perubahan sosial.
Pengaruh pesantren dapat dilihat dari alumninya yang berhasil berkiprah di berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Jebolan pondok pesantren akan menjadi ikon keagamaan. Berbaur dengan masyarakat berbagi rasa dan saling mengingatkan. Ada yang menjadi ulama, mereka akan dijadikan pemimpin tahlil dalam acara ritual, pemimpin dalam pencaturan pesta atau bahkan diyakini sebagai orang yang pandai memberi jampi-jampi mujarab bagi orang sakit (dukun). Ada lagi yang menjadi guru ngaji, pegawai, wirausaha dan sebagainya.

Pesantren-pesantren punya spesialisasi sesuai dengan lapangan keahlian kyainya. Ada pesantren yang dikenal sebagai sumber ilmu tafsir, ilmu falak, ilmu hadits, ilmu fikih, bahkan ilmu gaib bergantung pada bidang yang menjadi spesialisasi kyainya. Karena itu, belajar di pesantren sangat longgar, sehingga tidak terikat oleh waktu. Dahulu orang bebas “keluar-masuk” pesantren sesuai dengan kebutuhannya akan ilmu. Setelah merasa puas belajar disebuah pesantren seorang santri bisa pindah belajar ke pesantren lain yang kyainya terkenal ahli tafsir atau ahli ilmu falak.

Namun demikian, pesantren tidak mengeluarkan ijazah. Karena memang santri yang belajar di pesantren bukanlah untuk memperoleh ijazah yang tujuannya mencari pekerjaan. Orang belajar di pesantren untuk memenuhi hasratnya akan ilmu. Ilmu yang diperolehnya itu tidak selalu dijadikan alat utuk mencari nafkah. Lulusan pesantren tidak semua bahkan kebanyakan tampaknya tidak menjadi kyai atau guru agama.

Karena belajar di pesantren hanyalah menutut ilmu. Maka, yang menjadi peran vital dalam perjalanan roda pesantren tidak lain adalah seorang kyai. Dania (kyai) mempunyai hak prerogatif yang hal ini wajar karena kyai dianggap sebagai pemilik atau pendiri lembaga tersebut.

Hal ini pula yang membuat masyarakat memberikan hak lebih kepada kyai sebagai bentuk terimakasih atas usahanya selama ini. Maka tak heran kalau kemudian arah kebijakan pesantren bergantung pada paradigma kyai sebagai pengasuh pondok pesantren. Dan orang tua santripun secara ikhlash dan sepenuh hati memasrahkan putra-putrinya kepada kyai.
Seiring kebijakan tersebut, maka dapat kita baca kemana arah kyai dalam menuntun santrinya. Yang jelas, kyai akan mengarahkan santri-santrinya menuju jalan yang bercorak agama karena memang tujuan utama kyai mendirikan pondok pesantren mencetak anak didik yang berwawasan luas mengenai kegamaan, serta mendidik anak didiknya berprilaku baik dan sopan serta berbudi luhur.

Namun seiring perkembangan zaman, pesantren mau tidak mau harus lari dari kungkungan tradisional. ini penting, sebab lulusan pesantren selalu dianak tirikan dan dianggap tidak mempunyai kemampuan menduduki jabatan-jabatan penting.

Pesantren harus bisa keluar dari gaya tradisionalnya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa lulusan pesantren juga bisa berbicara dari segala bidang. Ketertinggalan dibidang sains dan tehnologi tidak boleh lagi terjadi didunia pesantren. Oleh karena itu, pesantren harus melakukan perubahan besar-besaran untuk mampu bersaing dalam kancah tantangan global.
Salah satu yang harus dirubah dalam dunia pesantren adalah penerapan system pendidikan dari tingkat madrasah maupun diniyah dengan memasukkan pendidikan unum. Serta melengkapi fasilitas-fasilitas yang menunjang masa depan lulusan pesantren. Maka dengan perubahan semacam ini, lulusan pesantren nantinya akan mempunyai kwalitas bagus dan bersaing dengan lulusan pendidikan umum. Apalagi santri dibimbing untuk mempunyai keterampilan HUSUS sebagai persiapan ketika pulang ke masyarakat nantinya. Yang pasti, jebolan pesantren akan menebar pesona.

Namun demikian, ditengah gencarnya pesantren melakuakan perubahan, justru pesantren mendapat sorotan. Lembaga pendidikan ini dianggap sebagai perkecambahan teroris. Maklum, para pelaku peledakan bom mayoritas adalah para alumni pondok pesantren. Tak heran bila pesantren kena getahnya. Kurikulum pesantrenpun harus dirubah, para santri diawasi.

Khotib-khotib di masjid yang mayoritas juga alumni pesantren dipelototi. Bahkan sebelum mengajar, santri atau alumni pesantren harus lapor polisi.

Masyarakat pun dibuat bingung terhadap lembaga pendidikan yang bernama pesantren. Tak terkecuali orang tua yang memiliki anak sedang menuntut ilmu di pesantren. Mereka hawatir anaknya dicekoki dengan pendidikan-pendidikan yang berbau jihad. Maka jangan salahkan mereka kalau seumpama menarik kembali purta-putrinya dan dimasukkan pada lembaga pendidikan umum. Bagaimana seharusnya kita memandang persoalan ini? Benarkah ajaran pesantren adalah bibit-bibit terorisme?. Andalah yang akan menjawabnya.

Yang mau baca silahkan!

Stop Kekerasan Dalam Pendidikan PDF Cetak E-mail
13/05/2008
[ Membudayakan Peace Education ]
Oleh : Durhan Ariev
Baru-baru ini stasiun televisi swasta menyebar kabar bahwa di Sleman Yogyakarta siswa Sekolah Dasar menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Kematian siswa itu diakibatkan penusukan salah seorang guru yang emosi akibat ejekan kor ban. Belum lagi kejadian di Pati, seorang Ibu Guru Sekolah Dasar menghukum murid-muridnya yang tidak menyelesaikan pekerjaan rumah dengan me nusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa.
Secara yuridis masyarakat akan menilai guru tersebut bersalah, apapun alasannya karena pri laku semacam itu sangatlah tidak pantas di lakukan seorang guru. Guru seharusnya memberikan con toh baik yang nantinya bisa ditiru oleh anak didik nya sehingga diharapkan anak didiknya nanti akan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Peris tiwa itu seakan menghilangkan otoritas guru dima ta masyarakat sebab guru yang seharusnya dicon toh tidak lagi bisa ditiru gerak-geriknya, selain itu sekolah tersebut akan kehilangan legitimasi penuh dari masyarakat.
Siswa dan masyarakat akan melihat bagaima na sikap dan perbuatan gurunya itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau ti dak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya bagaimana cara menyelesaikan persoalan , dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul, baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat. (Akh. Zaini Makmun : Guru sebagai pihak tertuduh).
Guru dituntut untuk tampil sebagai figure yang benar-benar dipercaya dan diyakini dapat me ngembangkan intelektualitas peserta didik dalam bentuk yang konkrit. Kemudian menjadi determi nan dalam proses aktualisasi dalam memajukan pendidikan, rasa responsibilitas guru dalam mendi dik dan membina peserta didik secara proporsional sehingga respon guru dalam mendidik dan membi na dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. (MT Ilahi : Delima Pendidikan Kontemporer)
Peristiwa diatas menambah serangkaian pot ret buram pendidikan Indonesia yang sampai saat. ini belum menemukan titik terang yang pas dalam implementasi PBM, serta mengindikasikan betapa kekerasan telah merejalela didunia pendidikan se hingga mukjizat- mukjizat dan ruh-ruh intelektual sulit dimiliki peserta didik, lembaga pendidikan be rubah fungsi, dari pembinaan mental dan moral yang mempuni menjadi pembinaan fisik yang kuat dan tegar, akibatnya mental dan motivasi anak down hingga tidak lagi mau melanjutkan pendidi kan, mereka lebih memilih berdiam diri dirumah me ngorbankan pendidikannya karena peristiwa yang terjadi dalam lembaga pendidikan hawatir terjadi pada dirinya, hal ini disebabkan karena pendidikan kita selama ini lebih menekan pada aspek kognitif dan tidak memberi ruang pada aspek afektif, aki batnya dekadensi moral tidak bisa dielakkan lagi. Maka tak salah kalau kemudian Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler memberikan arti pada istilah (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai pengunaan kekuatan kepada orang lain secara terbuka (overt) maupun secara tertutup (covert) atau yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive)
Anak sebagaimana amanat UUD 1945 mempu nyai hak mendapat pengajaran sehingga nantinya diharapkan menjadi kader bangsa yang mampu membawa bangsa ini pada level maju hingga mam pu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Anak-anak wajib diarahkan pada hal-hal positif afektif agar budi luhur yang saat ini sangat sulit dimiliki bisa mereka miliki semenjak dini. Kalau peristiwa-peristiwa diatas masih menjadi raksasa penakut bagi anak-anak, maka jangan harap anak akan menggunakan haknya dengan baik dalam dunia pendidikan. Karena itu seakan saatnya kita seka rang mengubah pradigma pendidikan dengan pra digma pendidikan yang lebih enjoy. Pendidikan yang tidak mengekang anak-anak dengan metode pengajaran yang diaplikasikan, demikian juga undang-undang lembaga tidak dirasa membeleng gu kebebasan peserta didiknya.
Di Jokjakarta, Mas Bahruddin dengan Qaryah Thayyibah berhasil mencetak anak didiknya ber prestasi di tingkat nasional mengalahkan dunia pen didikan yang hanya mempromosikan kaanggunan gedung dan kelengkapan fasilitas lainnya. Dalam Qaryah Thayyibah sebagaimana dikembangkan Mas Bahruddin hanya menggunakan sarana pendi dikan seadanya bahkan biaya yang mereka perlu kan tidak perlu mengeluarkan kocek banyak sebab pembelajaran yang mereka pergunakan hanya sebatas belajar pada alam. Namun yang patut ki ta acungi jempol dalam pendidikan Qaryah Thay yibah ini adalah sistem pendidikan dijalankan se suai keahlian dan kemampuan siswa masing-masing sehingga dalam Qaryah Thayyibah tidak mengenal pengelompokan kelas, tapi, walau demikian kemam puan perta didiknya dalam mengakses internet ti dak perlu diragukan sebab mereka bisa mengakses internet selama 24 jam non stop. Dan tidak adanya praktek kekerasan, pemaksaan, sekaligus penyik saan dalam Qaryah Thayyibah menjadikan pendidi kan berjalan lancar dan prestasi semakin memu kau.
Melihat dari itu semua, tidak bisakah kita mene rapkan sistem pendidikan damai (peace education) di negara kita ? atau setidaknya dalam lemba ga pendidikan yang kita kelola ?
Tak ada kata tidak bisa sebelum dicoba, dan tak ada kata bersalah dalam kegagalan uji coba. Dalam hal ini pemerintah sebenamya telah berusa ha menjadikan pendidikan di negara kita maju dan bersaing dengan pendidikan negara tetangga. Bentuk keprihatinan pemerintah dalam pendidikan diabadikan dalam pasal 2 Deklarasi HAM bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengem bangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Hal ini secara tidak langsung me ngindikasikan bahwa pemerintah merasa kecewa dengan pendidikan yang tidak mampu membentuk kepribadian anak didiknya dengan sempuma.
Kantor UNESCO di Jakarta sejak 2000 telah menciptakan projek pendidikan damai dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ker jasama diantara para kepala sekolah, guru dan orang tua murid untuk memantapkan kometmen pengembangan dan pelaksanaan pendidikan da mai. Berdirinya jaringan Asosiasi Sekolah di Indonesia telah mendorong peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang isu-isu budaya perda maian, toleransi , solidaritas dan partisipasi yang demokratis diantara murid, guru dan orang tua. (Pendidikan Tanpa Kekerasan : 2004)
Begitu besar perhatian pemerintah untuk men sukseskan pendidikan, namun kekerasan tetap ber jalan mulus tanpa ada yang mampu membendung nya, mungkinkah hal ini dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas terhadap pelaku kekerasan da lam pendidikan ? ataukah karena ulah pendukung pendidikan (pengelola dan peserta didik) yang tidak mematuhi aturan pendidikan itu sendiri ?.
Penulis tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi bagaimanapun caranya mari kita bersama-sama, dengan kesadaran dan keikhlasan membrantas praktek kekerasan sekaligus membudayakan peace education dalam pendidikan itu sendiri, agar cita-cita pendidikan mencetak kader bangsa yang bersih dan santun bisa tercapai. Semoga !

Dipublikasikan di tabloid INFO Sumenep